How Electronic Traceability Systems are Becoming the Backbone of Indonesian Fisheries’ Sustainability Initiatives
This article was originally written in Bahasa Indonesia by one of SALT’s small grantees Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI).
Silakan klik di sini untuk membaca artikel asli dalam bahasa Indonesia.
The fishing industry plays an important role in ensuring food security, reducing poverty, and providing job opportunities in Indonesia. Sustainability has become an essential aspect of Indonesian fisheries management and policies to balance ecological and socio-economic well-being in recent years. However, critical issues such as illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing and associated crimes continue to be one of the major obstructions to Indonesia’s sustainable fisheries management.
In addition to strengthening the enforcement of fishing permits and other regulations at sea, the development of electronic catch documentation and traceability (eCDT) systems has been an essential part of the solution to help prevent products with IUU fishing origins from entering the supply chains. Implementing an eCDT system will also increase the credibility of Indonesian fishery products in the global market by collecting and sharing the essential information required by major seafood markets, such as the EU, Japan, and the United States. The regulations required by these top three markets have been the benchmark for Indonesia’s seafood export businesses, which are an important source of income for the country.
Over the last several years, Indonesia has been investing significantly in the development of eCDT systems. Eleven information systems have been developed, including vessel monitoring, permit issuance, vessel registration, fishery logbooks, and more. To integrate all the information from existing traceability systems, both from the public and private sectors, the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF) developed and launched STELINA (Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional) in 2018. This initiative led to the enactment of several regulations in 2021 to support the nationwide implementation and utilization of STELINA.
The next step in Indonesia’s traceability initiative is to streamline and simplify the traceability processes. Ideally, the system would record various key data elements related to vessel and fishing activities, and the collected information becomes accessible via a unique identification code at the landing port. The goal is to make key information accessible to the end market via a QR code on each product package.
Another challenge identified was the implementation of a traceability system for small-scale fishers in remote areas. 94.6% of Indonesian small-scale fishers are spread across the country, and many of their landing ports are owned by suppliers, which means that there is no fishery data officer on duty. In those areas, securing internet access and providing IT support for traceability systems could be challenging. Furthermore, the post-landing supply chain, such as processing and packing, needs to be investigated as it involves many stakeholders in the complex seafood supply chain.
Despite the many challenges, Indonesia is making progress toward achieving sustainable fisheries by implementing eCDT systems. As a first step, the Directorate General of Market Strengthening for Marine and Fishery Products (Ditjen PDSPKP) hosted a workshop to develop an electronic-based traceability system for Indonesian fisheries in collaboration with the MDPI in 2020. This workshop received remarkable attendance from MMAF representatives, industry associations, non-governmental organizations, academics, and information technology providers. During the workshop, attendees discussed challenges and opportunities to advance Indonesia’s traceability initiatives, such as electronic traceability principles, key data elements, and the implementation of STELINA. The second workshop was held in June 2021, where stakeholders created a three-year roadmap for the development and implementation of STELINA by 2024. MMAF adopted this roadmap, and MDPI will continue to work closely with MMAF to support its implementation.
The STELINA 2021–2024 development roadmap prioritizes improving interoperability between systems and the development of traceability systems at the industrial level. MDPI will continue hosting co-design workshops involving all actors in fishery traceability to ensure a more inclusive approach that presents various ideas and perspectives throughout the process.
Penguatan sistem ketelusuran produk perikanan berbasis elektronik di Indonesia
Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, ketersediaan sumberdaya ikan turut memegang peranan penting dalam menjamin keamanan pangan, mengurangi angka kemiskinan hingga penyediaan lapangan kerja. Menyadari hal ini, aspek keberlanjutan kini menjadi nafas dari setiap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia demi mempertahankan keseimbangan antara kesehatan ekologi dan kesehatan sosial ekonomi. Di sisi lain, terdapat isu penting yang memerlukan perhatian khusus di tengah upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan, yaitu segala bentuk kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) yang harus diberantas, diperangi dan dikurangi secara menyeluruh.
Selain melalui mekanisme perizinan dan penegakan hukum di laut, pengembangan sistem ketelusuran berbasis elektronik atau electronic Catch Documentation and Traceability (eCDT) dapat menjadi solusi untuk mencegah masuknya produk perikanan ilegal ke dalam rantai pasok legal. Implementasi sistem eCDT secara konsisten juga dapat meningkatkan daya saing perikanan Indonesia di pasar global, termasuk dalam memenuhi persyaratan pasar ekspor di beberapa negara tujuan seperti Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Ketiga pasar ekspor tersebut merupakan tolok ukur bagi aktivitas ekspor produk perikanan Indonesia dan memiliki peran yang begitu penting sebagai salah satu sumber pendapatan devisa negara.
Sejauh ini Indonesia telah memberikan investasi dana yang cukup signifikan dalam pembangunan sistem eCDT, melalui pengembangan 11 sistem informasi termasuk untuk pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system), izin layanan cepat, pendaftaran kapal perikanan, logbook penangkapan ikan, dan sistem informasi lainnya. Untuk mengintegrasikan sistem ketelusuran yang ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan industri, saat ini KKP tengah mengembangkan Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional (STELINA). Komitmen menjalankan eCDT secara konsisten juga terbukti dengan ditetapkannya sejumlah peraturan di tingkat nasional sebagai landasan hukum yakni Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang telah ditindak lanjuti dengan Penerbitan Paraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 29 Tahun 2021 tentang STELINA, dengan harapan dapat meminimalisir kendala dalam penyediaan sarana teknologi informasi untuk mendukung upaya pengembangan STELINA.
Sistem ketelusuran yang telah berjalan saat ini dirasa dapat lebih disederhanakan dalam memproses ketelusuran dari laut ke konsumen melalui satu gerbang, mulai dari tahap pengumpulan data saat pendaratan ikan hingga pembuatan kode identifikasi unik untuk setiap ikan yang diproduksi. Berbagai elemen data penting yang nantinya akan tercatat dalam sistem termasuk informasi seputar kapal (pemilik kapal, nama kapal dan nahkoda, ukuran, dan sebagainya), jenis ikan, lokasi penangkapan, berat ikan, grade, jenis alat tangkap hingga data pengolahan dan data ekspor. Kumpulan informasi ini dapat diakses melalui QR Code yang dicetak saat melewati tahap akhir produksi dan akan ditempelkan pada setiap kemasan produk.
Selain itu, banyaknya jumlah nelayan Indonesia yang mayoritas merupakan nelayan kecil turut menjadi tantangan tersendiri. Sebanyak 94,6% nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) tersebar di berbagai penjuru negeri, hingga ke daerah terpencil, dan mendaratkan hasil tangkapan di sentra nelayan atau dermaga milik supplier di mana tidak terdapat petugas perikanan.
Tantangan lainnya adalah kapasitas para nelayan dan supplier (pemasok) yang masih sangat terbatas dalam penggunaan teknologi informasi ketelusuran, apalagi masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang belum terjangkau oleh jaringan internet yang kerap dibutuhkan untuk menjalankan sistem pencatatan elektronik (eCDT). Selanjutnya, proses produksi produk perikanan tangkap memiliki rantai pasok yang cukup kompleks, panjang, dan melibatkan banyak pihak mulai dari nelayan yang melakukan penangkapan di laut, pengumpulan di darat hingga ke tahap produksi di Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Meski masih banyak tantangan, namun semangat untuk mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui eCDT mendorong Indonesia untuk terus bergerak maju. Sebagai langkah awal, di akhir tahun 2020 Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (Ditjen PDSPKP) bekerja sama dengan MDPI mengadakan Workshop Pengembangan Sistem Ketelusuran Berbasis Elektronik untuk Perikanan Indonesia. Workshop ini dihadiri oleh berbagai unsur pemangku kepentingan seperti perwakilan KKP, asosiasi industri, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi hingga penyedia teknologi informasi, lokakarya tersebut merumuskan berbagai keluaran yang diharapkan dapat membawa Indonesia lebih maju dalam bidang ketelusuran, seperti: Prinsip Ketelusuran Berbasis Elektronik, Data Key Element, dan Rencana Aksi Pengembangan STELINA untuk tahun 2021-2024. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, tanggal 9 Juni 2021 kembali diadakan workshop untuk menyusun peta jalan pengembangan STELINA tahun 2021-2024 yang saat ini telah diadopsi oleh KKP. Demi mendukung kelancaran implementasi STELINA, MDPI selaku mitra kerja KKP yang telah berkiprah di bidang ketelusuran sejak 2013 juga akan terus saling bertukar pengetahuan, khususnya seputar TraceTalesTM, sebuah sistem ketelusuran yang dikembangkan oleh MDPI.
Mengacu pada elemen peta jalan pengembangan STELINA 2021-2024 yang telah diadopsi, langkah selanjutnya yang menjadi prioritas utama adalah membangun interoperabilitas antar sistem ketelusuran di tingkat KKP, dilanjutkan dengan pembangunan sistem informasi di tingkat industri. Dalam tahap pengembangan sistem dan perangkatnya, perlu diadakan workshop co-design yang melibatkan seluruh pemeran dalam ketelusuran perikanan, agar proses pengembangan dapat menjadi lebih inklusif dan menyajikan beragam perspektif.
Adapun tahapan pengembangan STELINA secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
- Tahun 2021, diproyeksikan telah menghasilkan pemetaan parameter data user, model dokumen yang diperlukan, scoping, identifikasi kemitraan (Pilot Project setidaknya dengan 8 Unit Pengolahan Ikan), harmonisasi data collection, analisa hasil harmonisasi, desain integrasi, penyempurnaan pengembangan sistem STELINA, persiapan hardware, uji coba sistem/aplikasi yang sudah disempurnakan, sosialisasi dan pelatihan, koordinasi implementasi, uji coba STELINA New-Version termasuk penyusunan panduannya (Prototype STELINA Terintegrasi).
- Tahun 2022, diproyeksikan dapat menghasilkan update aplikasi, sosialisasi STELINA Terintegrasi, implementasi STELINA Terintegrasi (Perluasan pilot project setidaknya dengan 25 Unit Pengolahan Ikan), pelatihan, dan pendampingan.
- Tahun 2023, diproyeksilkan melaksanakan monitoring dan evaluasi STELINA Terintegrasi, sosialisasi STELINA terintegrasi, implementasi STELINA Terintegrasi (perluasan pilot project setidaknya dengan 25 Unit Pengolahan Ikan), dan promosi STELINA ke Pasar Global.
- Tahun 2024, KKP mulai melaksanaan STELINA Terintegrasi secara menyeluruh setidaknya dengan 58 Unit Pengolahan Ikan di Indonesia, disertai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi dengan pelaksanaan secara berkala setiap 4 (empat) bulan.
Bila implementasi STELINA Terintegrasi dapat dimaksimalkan, maka diproyeksikan setelah tahun 2024, pelaksanaan eCDT tidak lagi hanya dilakukan untuk produk pasar ekspor, tetapi juga mencakup pasar dalam negeri (pilot project).